BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah
satu dari anjuran agama Islam adalah tolong-menolong antara sesama muslim
ataupun non muslim.
Bentuk
tolong-menolong itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan
lain sebagainya.
Salah satu di antaranya adalah hibah, atau disebut juga
pemberian cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan.
الهبة ( hibah) adalah dengan huruf
ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti
memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup
tanpa meminta ganti.
B.
Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah di
atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah semua hal yang
berkaitan dengan hibah dipandang dari segi dasar hukumnya (tafsir ayat-ayat
al-Qur’an yang berkaitan dengan hibah).
C.
Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam
yang dibimbing oleh Ibu Lely Shofa Imama, M.S.I..
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hibah dan Dasar Hukumnya
Kata “Hibah” Bahasa Arab yang berarti “kebaikan atau keutamaan yang
diberikan oleh suatu pihak kepada pihak yang lain yang mana pemberian itu
berupa harta atau bukan harta”.[1]
Menurut Istilah Agama Islam hibah itu semacam akad atau perjanjian
yang menyatakan pemindahan milik seorang kepada orang lain diwaktu masih
hiduptanpa mengharapkan penggantian atau imbalan sedikitpun.[2]
Adapun yang dijadikan dasar hukum dalam masalah hibah ini adalah
beberapa hadist Rasulullah saw. berikut ini:
عن أبي هريرة
رضي الله عنه يقول الرسول صلى الله عليه وسلم تهادوا تحابوا (اخرجه البخاري
والبيهقي)
Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Saling memberilah
kalian, niscaya kamu sekalian kasih mengasihi”. (HR. Bukhari & Baihaqi)
Bahkan Rasulullah SAW mencela orang-orang yang meminta kembali
hibah yang telah diberikannya kepada seseorang, berdasarkan hadits:
عن ابن عباس
قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم : العائد في هبته كالكلب يقئ ثم يعود في قيئه
(رواه البخاري
ومسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW : “Orang
yang meminta kembali hibahnya seperti anjing yang muntah kemudian memakan
kembali muntahnya itu”.(
HR. Bukhari & Muslim).
Banyak perbuatan Rasulullah SAW yang dapat dijadikan dasar bahwa hibah
itu hukumnya mubah (boleh), bahkan beliau membolehkan seorang muslim menerima pemberian
dari orang-orang non muslim, berdasarkan sabda beliau:
إن عياضا أهدى
الى النبي صلى الله عليه وسلم هدية فقال له النبي صلى الله عليه وسلم اسلمت ؟ قال
: لا, قال :
إني نهيت عن زبد
المشركين (رواه أحمد وأبو داود والترمذي)
Artinya:
Bahwasanya ‘Iyadh memberikan sesuatu kepada Rasulullah SAW, maka
Rasul bertanya kepadanya (‘Iyadh): “Apakah engkau telah masuk Islam?” Ia
menjawab: “Tidak”. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku dilarang menolak pemberian
orang-orang musyrik”. (HR.
Ahmad, Ibnu Daud & Tirmidziy).[3]
B.
Ayat-ayat Al- Qur’an Tentang Hibah Serta Penafsirannya
1.
Al- Baqarah: 195
((#qà)ÏÿRr&ur Îû
È@Î6y
«!$#
wur
(#qà)ù=è?
ö/ä3Ï÷r'Î/
n<Î)
Ïps3è=ökJ9$#
¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur
¡ ¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
ÇÊÒÎÈ
“Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Azbabun nuzul Surah Al-Baqarah ayat 195 di atas adalah sebagai berikut:
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (S. 2: 195) turun berkenaan dengan
hukum nafkah. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Hudzaifah.)
Dalam
riwayat lain dikemukakan peristiwa sebagai berikut: Ketika Islam telah berjaya
dan berlimpah pengikutnya, kaum Anshar berbisik kepada sesamanya: "Harta
kita telah habis, dan Allah telah menjayakan Islam. Bagaimana sekiranya kita
membangun dan memperbaiki ekonomi kembali?" Maka turunlah ayat tersebut di
atas (S. 2: 195) sebagai teguran kepada mereka, jangan menjerumuskan diri pada
"tahlukah" (meninggalkan kewajiban fi sabilillah dan berusaha
menumpuk-numpuk harta).(Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban,
al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari Abi Ayub al-Anshari. Menurut
Tirmidzi hadits ini shahih.)
Menurut
riwayat lain, tersebutlah seseorang yang menganggap bahwa Allah tidak akan
mengampuni dosa yang pernah dilakukannya. Maka turunlah "Wala tulqui
biaidikum ilat-tahlukah." (Diriwayatkan oleh at-Thabarani dengan sanad
yang shahih dan kuat, yang bersumber dari Jabir an-Nu'man bin Basyir. Hadits
ini diperkuat oleh al-Hakim yang bersumber dari al-Barra.)
Penafsirannya:
Dalam ayat ini
Allah memerintahkan kepada kita melalui firman-Nya:
“Dan belanjakanlah (harta
bendamu) di jalan Allah (sebagai bukti taat kepada-Nya, baik untuk
kepentingan jihad atau yang lainnya), dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan (artinya menjerumuskan diri sendiri ke dalam
kerusakan dengan menahan nafkah untuk kepentingan jihad atau yang lainnya,
karena hal itu akan menambah kekuatan musuh atas kita), dan berbuat baiklah,
(artinya berbuat baik degan infak atau yang lainnya, termasuk di dalamnya
hibah) karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (artinya
Allah akan memberikan pahala kepada orang-orang yang berbuat baik)”.[4]
2.
An- Nisa’: 4-5
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
“Dan
berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
Ayat di atas lebih menekankan kepada
keharusan seorang suami memberikan mahar (mas kawin) kepada istrinya atas dasar
keikhlasan dan sesuai dengan kemampuannya.[5]
Jika di amati secara seksama, maka kita
akan menemukan konsep hibah di dalam ayat di atas, yaitu memberikan sesuatu
(berupa mahar) atas dasar sukarela dan penuh dengan keikhlasan.
Dalam lanjutan ayat di atas (An- Nisa’: 4)
Allah SWT berfirman dalam An- Nisa’ ayat 5, sebagai berikut:
wur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# @yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur
öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ
“Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.
Ayat ini menggambarkan perhatian Islam
terhadap masalah pemeliharaan dan pemanfaatan harta yang dimiliki anak yatim.
Janganlah harta itu diserahkan kepada orang yang tidak mampu mempergunakannya
atau mengelolanya dengan baik, karena faktor usia atau keterbatasan lainya.[6]
Allah SWT. melarang dengan firman-Nya
dalam ayat di atas menyerahkan harta kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, yaitu anak yatim yang belum baligh, orang gila dan orang dewasa yang
tidak dapat mengatur harta bendanya. Meskipun demikian, wajib bagi yang
menguasai harta milik mereka itu memenuhi kebutuhan mereka baik itu sandang,
pangan dan papan.[7]
3.
An- Nisa’: 114
*
w uöyz Îû 9ÏV2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R wÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) ú÷üt/ Ĩ$¨Y9$# 4
`tBur ö@yèøÿt Ï9ºs uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã ÇÊÊÍÈ
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,
atau berbuat ma'ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan
Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak
Kami memberi kepadanya pahala yang besar”.
Pada
ayat 114 surah An- Nisa’ di atas, Allah Allah swt. menegaskan bahwa tidak ada
kebaikan pada kebanyakan manusia, kecuali percakapan yang bertujuan menganjurkan
bersedekah, berbuat ma’ruf atau percakapan yang membawa perdamaian di antara
manusia.[8]
4.
Al- Baqarah: 261
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã óOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y @Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB
7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ïè»Òã `yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ ÇËÏÊÈ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”.
Ayat
di atas menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah disamakan dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulirdan
tiap-tiap bulir terdapat seratus biji. Artinya pahala orang yang
menafkahkan/menghibahkan hartanya di jalan Allah akan dilipat gandakan
pahalanya oleh Allah swt.
Jika
diperhatikan secara seksama jelas sekali di dalam ayat di atas, bahwa orang
yang berinfak/berhibah itu pada hakikatnya bukan menghabiskan hartanya, akan
tetapi sebaliknya malah semakin menambah kekayaannya, dan di luar itu masih ada
bonus-bonus lain yang Allah berikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.[9]
C.
Perbedaan Hibah Dengan Hadiah dan Sedekah
Berbeda dengan hadiah dan sedekah, dalam berhibah
(memberikan/menyerahkan sesuatu) tidak ada unsure-unsur atau tujuan lain,
artinya memberrikan sesuatu dengan tidak ada tukarannya dan tidak ada sebabnya.
Sedangkan hadiah memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai bentuk
penghormatan atas prestasi yang dicapainya. Adapun sedekah ditujukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt. Dasar sedekah ialah semangat keagamaan,
sedangkan hibah tidak berdasarkan semangat keagamaan atau untuk mendekatkan
diri kepada Allah, tetapi berdasar kehendak dan keinginan sendiri.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa hibah merupakan pemberian sesuatu baik berupa harta
ataupun bukan kepada orang lain dengan sukarela dan penuh keikhlasan, artinya
tanpa mengharapkan imbalan apapun. Pemberian tersebut hanya bertujuan untuk
membantu sesama agar tercipta kesejahteraan hiidup terutama mereka yang lemah
dalam bidang ekonominya.
B.
Saran
Dengan
selesainya makalah ini, maka penulis berharap adanya respon positif dari semua
pihak terutama dari dosen pengampu mata kuliah ini terhadap makalah ini.
Penulis sadar
bahwa makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, maka dari itu kritik atau
masukan yang bersifat membangun atas kesempurnaan makalah ini sangat
diharapkan.
Akhirnya semoga
makalah ini bermanfaat bagi semua terutama bagi kami dan teman-teman serta pihak-pihak
yang terlibat di dalam penyelesaian makalah ini. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman,
A. Asymuni, “Ilmu Fiqih 3”, Departemen Agama, 1986
Muhammad Ibn Ahmad Al- Mahiliy &
Abdul rahman Ibn Abu Bakar Al- Suyuthiy, “Tafsir Al- Qur’an Al- Adzim”.
Hlm.28
Hafidhuddin, Didin. “Tafsir Al-
Hijri Surat An- Nisa’”. Bogor: Yayasan Kalimah Thoyyibah, 2000
Bahreisy, H. Salim. H. said
Bahreisy. “Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir”. Surabaya: PT. Bina
Ilmu.
Baidan, Nashruddin. “Tafsir
Maudhu’i: Solusi Atas Masalah Sosial Kontemporer”. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
[1] Rahman, Asymuni dkk. Ilmu Fiqih 3. Jakarta: CV. Yulina,
1986. Hlm 198
[2] Ibid, hlm 199
[3] Ibid, hlm. 200-201
[4] Tafsir Jalalain al-Suyuthi, hal. 28
[5] Hafidhuddin, Didin. Tafsir Al- Hijri. Cet.1. Jakarta: Yayasan
Kalimah Thayyibah, 2000
[6] Tafsir Al- Hijri.
[7] Bahreisy, Salim. H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 2. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
[8] Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, hal. 543-544
[9] Baidan, Nashruddin, Tafsir Maudhu’i. cet. 1. Hal. 134. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
[10] Ilmu Fiqih, hal. 199
Tidak ada komentar:
Posting Komentar