Kamis, 27 Maret 2014

TAFSIR AHKAM II: HIBAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu dari anjuran agama Islam adalah tolong-menolong antara sesama muslim ataupun non muslim.
Bentuk tolong-menolong itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya.
Salah satu di antaranya adalah hibah, atau disebut juga pemberian cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan.
الهبة ( hibah) adalah dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti.
B.     Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah semua hal yang berkaitan dengan hibah dipandang dari segi dasar hukumnya (tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hibah).
C.    Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam yang dibimbing oleh Ibu Lely Shofa Imama, M.S.I..



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hibah dan Dasar Hukumnya
Kata “Hibah” Bahasa Arab yang berarti “kebaikan atau keutamaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak yang lain yang mana pemberian itu berupa harta atau bukan harta”.[1]
Menurut Istilah Agama Islam hibah itu semacam akad atau perjanjian yang menyatakan pemindahan milik seorang kepada orang lain diwaktu masih hiduptanpa mengharapkan penggantian atau imbalan sedikitpun.[2]
Adapun yang dijadikan dasar hukum dalam masalah hibah ini adalah beberapa hadist Rasulullah saw. berikut ini:
عن أبي هريرة رضي الله عنه يقول الرسول صلى الله عليه وسلم تهادوا تحابوا (اخرجه البخاري والبيهقي)
Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Saling memberilah kalian, niscaya kamu sekalian kasih mengasihi”. (HR. Bukhari & Baihaqi)
Bahkan Rasulullah SAW mencela orang-orang yang meminta kembali hibah yang telah diberikannya kepada seseorang, berdasarkan hadits:
عن ابن عباس قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم : العائد في هبته كالكلب يقئ ثم يعود في قيئه
(رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW : “Orang yang meminta kembali hibahnya seperti anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahnya itu”.( HR. Bukhari & Muslim).
Banyak perbuatan Rasulullah SAW yang dapat dijadikan dasar bahwa hibah itu hukumnya mubah (boleh), bahkan beliau membolehkan seorang muslim menerima pemberian dari orang-orang non muslim, berdasarkan sabda beliau:
إن عياضا أهدى الى النبي صلى الله عليه وسلم هدية فقال له النبي صلى الله عليه وسلم اسلمت ؟ قال : لا, قال :
إني نهيت عن زبد المشركين (رواه أحمد وأبو داود والترمذي)
Artinya:
Bahwasanya ‘Iyadh memberikan sesuatu kepada Rasulullah SAW, maka Rasul bertanya kepadanya (‘Iyadh): “Apakah engkau telah masuk Islam?” Ia menjawab: “Tidak”. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku dilarang menolak pemberian orang-orang musyrik”. (HR. Ahmad, Ibnu Daud & Tirmidziy).[3]
B.     Ayat-ayat Al- Qur’an Tentang Hibah Serta Penafsirannya
1.      Al- Baqarah: 195
((#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ  
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Azbabun nuzul Surah Al-Baqarah ayat  195 di atas adalah sebagai berikut:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (S. 2: 195) turun berkenaan dengan hukum nafkah. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Hudzaifah.)
Dalam riwayat lain dikemukakan peristiwa sebagai berikut: Ketika Islam telah berjaya dan berlimpah pengikutnya, kaum Anshar berbisik kepada sesamanya: "Harta kita telah habis, dan Allah telah menjayakan Islam. Bagaimana sekiranya kita membangun dan memperbaiki ekonomi kembali?" Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 195) sebagai teguran kepada mereka, jangan menjerumuskan diri pada "tahlukah" (meninggalkan kewajiban fi sabilillah dan berusaha menumpuk-numpuk harta).(Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari Abi Ayub al-Anshari. Menurut Tirmidzi hadits ini shahih.)
Menurut riwayat lain, tersebutlah seseorang yang menganggap bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa yang pernah dilakukannya. Maka turunlah "Wala tulqui biaidikum ilat-tahlukah." (Diriwayatkan oleh at-Thabarani dengan sanad yang shahih dan kuat, yang bersumber dari Jabir an-Nu'man bin Basyir. Hadits ini diperkuat oleh al-Hakim yang bersumber dari al-Barra.)
Penafsirannya:
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada kita melalui firman-Nya:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah (sebagai bukti taat kepada-Nya, baik untuk kepentingan jihad atau yang lainnya), dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (artinya menjerumuskan diri sendiri ke dalam kerusakan dengan menahan nafkah untuk kepentingan jihad atau yang lainnya, karena hal itu akan menambah kekuatan musuh atas kita), dan berbuat baiklah, (artinya berbuat baik degan infak atau yang lainnya, termasuk di dalamnya hibah) karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (artinya Allah akan memberikan pahala kepada orang-orang yang berbuat baik)”.[4]
2.      An- Nisa’: 4-5
  (#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ   
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
Ayat di atas lebih menekankan kepada keharusan seorang suami memberikan mahar (mas kawin) kepada istrinya atas dasar keikhlasan dan sesuai dengan kemampuannya.[5]
Jika di amati secara seksama, maka kita akan menemukan konsep hibah di dalam ayat di atas, yaitu memberikan sesuatu (berupa mahar) atas dasar sukarela dan penuh dengan keikhlasan.
Dalam lanjutan ayat di atas (An- Nisa’: 4) Allah SWT berfirman dalam An- Nisa’ ayat 5, sebagai berikut:
Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur
öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ  
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.
Ayat ini menggambarkan perhatian Islam terhadap masalah pemeliharaan dan pemanfaatan harta yang dimiliki anak yatim. Janganlah harta itu diserahkan kepada orang yang tidak mampu mempergunakannya atau mengelolanya dengan baik, karena faktor usia atau keterbatasan lainya.[6]
Allah SWT. melarang dengan firman-Nya dalam ayat di atas menyerahkan harta kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, yaitu anak yatim yang belum baligh, orang gila dan orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya. Meskipun demikian, wajib bagi yang menguasai harta milik mereka itu memenuhi kebutuhan mereka baik itu sandang, pangan dan papan.[7]
3.      An- Nisa’: 114
* žw uŽöyz Îû 9ŽÏVŸ2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R žwÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) šú÷üt/ Ĩ$¨Y9$# 4
`tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmŠÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã ÇÊÊÍÈ  
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”.
Pada ayat 114 surah An- Nisa’ di atas, Allah Allah swt. menegaskan bahwa tidak ada kebaikan pada kebanyakan manusia, kecuali percakapan yang bertujuan menganjurkan bersedekah, berbuat ma’ruf atau percakapan yang membawa perdamaian di antara manusia.[8]



4.      Al- Baqarah: 261
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB
 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ  

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”.
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah disamakan dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulirdan tiap-tiap bulir terdapat seratus biji. Artinya pahala orang yang menafkahkan/menghibahkan hartanya di jalan Allah akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah swt.
Jika diperhatikan secara seksama jelas sekali di dalam ayat di atas, bahwa orang yang berinfak/berhibah itu pada hakikatnya bukan menghabiskan hartanya, akan tetapi sebaliknya malah semakin menambah kekayaannya, dan di luar itu masih ada bonus-bonus lain yang Allah berikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.[9]

C.    Perbedaan Hibah Dengan Hadiah dan Sedekah
Berbeda dengan hadiah dan sedekah, dalam berhibah (memberikan/menyerahkan sesuatu) tidak ada unsure-unsur atau tujuan lain, artinya memberrikan sesuatu dengan tidak ada tukarannya dan tidak ada sebabnya. Sedangkan hadiah memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai bentuk penghormatan atas prestasi yang dicapainya. Adapun sedekah ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Dasar sedekah ialah semangat keagamaan, sedangkan hibah tidak berdasarkan semangat keagamaan atau untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi berdasar kehendak dan keinginan sendiri.[10]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hibah merupakan pemberian sesuatu baik berupa harta ataupun bukan kepada orang lain dengan sukarela dan penuh keikhlasan, artinya tanpa mengharapkan imbalan apapun. Pemberian tersebut hanya bertujuan untuk membantu sesama agar tercipta kesejahteraan hiidup terutama mereka yang lemah dalam bidang ekonominya.

B.     Saran
Dengan selesainya makalah ini, maka penulis berharap adanya respon positif dari semua pihak terutama dari dosen pengampu mata kuliah ini terhadap makalah ini.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, maka dari itu kritik atau masukan yang bersifat membangun atas kesempurnaan makalah ini sangat diharapkan.
Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi semua terutama bagi kami dan teman-teman serta pihak-pihak yang terlibat di dalam penyelesaian makalah ini. Amiin.



DAFTAR PUSTAKA
Rahman, A. Asymuni, “Ilmu Fiqih 3”, Departemen Agama, 1986
Muhammad Ibn Ahmad Al- Mahiliy & Abdul rahman Ibn Abu Bakar Al- Suyuthiy, “Tafsir Al- Qur’an Al- Adzim”. Hlm.28
Hafidhuddin, Didin. “Tafsir Al- Hijri Surat An- Nisa’”. Bogor: Yayasan Kalimah Thoyyibah, 2000
Bahreisy, H. Salim. H. said Bahreisy. “Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir”. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Baidan, Nashruddin. “Tafsir Maudhu’i: Solusi Atas Masalah Sosial Kontemporer”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.



[1] Rahman, Asymuni dkk. Ilmu Fiqih 3. Jakarta: CV. Yulina, 1986. Hlm 198
[2] Ibid, hlm 199
[3] Ibid, hlm. 200-201
[4] Tafsir Jalalain al-Suyuthi, hal. 28
[5] Hafidhuddin, Didin. Tafsir Al- Hijri. Cet.1. Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000
[6] Tafsir Al- Hijri.
[7] Bahreisy, Salim. H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
[8] Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, hal. 543-544
[9] Baidan, Nashruddin, Tafsir Maudhu’i. cet. 1. Hal. 134.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
[10] Ilmu Fiqih, hal. 199

Tidak ada komentar: