BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang tegas dalam menerapkan hukum-hukumnya, konsep
keadilan dalam Islam sangat ditekankan. Bahkan dari hal yang dibilang sepele
sampai pada hal yang rumit, Islam selalu aktif mengawasinya.
Islam menganjurkan kepada kita untuk selalu menjaga kehormatan
kita, serta memberikan batasan-batasan pergaulan antar sesame, sehingga kita
bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Makalah ini akan membahas tentang seluk beluk zina dari segi hukumnya
yang dikaitkan dengan penafsiran ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum zina
tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah di
atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah semua hal yang
berkaitan dengan zina yaitu dari definisi, macam dan hukumannya.
C.
Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam
yang dibimbing oleh Bapak H. Muhammad Basyri Asy’ari, MA.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Nash Ayat
1.
Q.S An- Nuur Ayat 2
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä.
7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB
sps($ÏB
;ot$ù#y_
( wur
/ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u
Îû ÈûïÏ
«!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
( ôpkô¶uø9ur
$yJåku5#xtã
×pxÿͬ!$sÛ
z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”
2.
Q.S Al-Isra’ Ayat 32
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”
3.
Penjelasan Kosa Kata
-
Q.S An- Nuur ayat 2
èÎT#¨9$#ur puÏR#¨9$# = makna harfiyahnya adalah “wanita dan laki-laki yang berzina”.
Sedangkan makna istilahnya adalah wanita dan laki-laki yang mealkukan hubungan
seks tanpa adanya ikatan pernikahan.
#rà$Î#ô_$$sù = kata dasarnya
adalah جلد yang berarti
memukul/mendera/mencambuk. Kata ini berbentuk “amar” atau perintah untuk
mendera wanita dan laki-laki yang berzina.
psùù&u = yang berari
belas kasihan, serumpun dengan kata رئوف الرحيم yang merupakan salah satu dari sifat Allah
(belas kasihan). Kata psùù&u pada ayat di atas dikaitkan dengan kata $yJÍkÍ5 /ä.õè{ù's?wur, jadi jelas maksud dari ayat ini bahwa kita tidak boleh memiliki
rasa belas kasihan terhadap orang yang berzina dalam hal mengadili atau
menghukumnya.
ô ×pxÿͬ!$sÛ$yJåku5#xtãpkô¶uø9ur
= maksudnya adalah hukuman atas orang yang berzina itu harus
dilaksanakan di muka umum.
-
Q.S Al- Isra’ Ayat 32
#oTÌh9 (#qç/tø)s?wur = artinya adalah “janganlah kamu mendekati zina”, kalimat ini
secara tegas melarang kita untuk mendekati zina. Logikanya, kalau mendekati
saja dilarang, apalagi kalau sampai melakukannya.
pt±Ås»sù = سيئة namun memiliki perbedaan yang sangat mencolok.
Kata pt±Ås»sù hanya dikhusukan pada zina saja, sedangkan perbuatan yang tidak
terpuji lainnya seperti mencuri dan lainnya menggunakan kata سيئة. Hal ini menunjukkan
bahwa zina merupakan perbuatan yang paling jelek di antara perbuatan jelek
lainnya.
u xÎ6yä!$yur = artinya suatu jalan yang buruk.
B.
Asbabun Nuzul
Surat An-Nuur Ayat 2 : An-Nasai
menyatakan bahwa Abdillah bin Amr berkata.”Ada seorang wanita bernama Ummu
Mahzul (atau Ummu Mahdun) yang musafih. Dan seorang laki-laki shahabat
Rasulullah SAW ingin menikahinya. Lalu turunlah ayat “Seorang wanita pezina
tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu
diharamkan buat laki-laki mukminin”.
Abu Daud, An-Nasai, At-Tirmizy dan Al-Hakim meriwayatkan dari
hadits Amru bin Syu`aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa ada seorang bernama
Mirtsad datang ke Mekkah dan memiliki seorang teman wanita di Mekkah bernama
`Anaq. Lalu dia meminta izin pada Rasulullah SAW untuk menikahinya namun beliau
tidak menjawabnya hingga turun ayat ini. Maka Rasulullah SAW bersabda
kepadanya,”Ya Mirtsad, seorang wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh
laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki
mukminin”.
Para Mufassirin mengatakan bahwa ayat ini selain untuk Mirtsad bin
Abi Mirtsad, juga untuk pra shahabat yang fakir yang minta izin kepada
Rasulullah SAW untuk menikahi para wanita pelacur dari kalangan ahli kitab dan
para budak wanita di Madinah, maka turunlah ayat ini.[1]
Surat Al- Isra’ Ayat 32 : tidak terdapat asbabun nuzul pada ayat ini.
C.
Pengertian Zina
Menurut bahasa
zina adalah الوطئ المحرم (peresetubuhan yang diharamkan) sedangkan
menurut istilah Para ulama
fiqih memberi batasan bahwa zina yang dimaksud adalah masuknya kemaluan
laki-laki ke dalam kemaluan wanita tanpa nikah atau syibhu nikah
(mirip/setengah nikah).
Bahkan ulama
Al-Hanafiyah memberikan definisi yang jauh lebih rinci lagi yaitu : hubungan
seksual yang haram yang dilakukan oleh mukallaf (aqil baligh) pada kemaluan
wanita yang hidup dan musytahah dalam kondisi tanpa paksaan dan dilakukan di
wilayah hukum Islam (darul Islam) di luar hubungan kepemilikan (budak) atau
nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah.[2]
Al- Qurthubi dalam Maktabah Syamilah mengatakan bahwa istilah zina
sudah dikenal sejak sebelum syari’at ditetapkan seperti halnya mencuri dan
membunuh. Ia mendefinisikan zina sebagai berikut :
هواسم لوطئ الرجل امرأة في فرجها بغير نكاح او شبهة نكاح.
“ialah wathi’nya
laki-laki kepada wanita di dalam kemaluannya tanpa adanya hubungan nikah atau
yang menyerupai nikah”[3]
Secara subtansial definisi yang dikemukakan
oleh Al- Qurthubi ini sama dengan penjelasan para fuqaha lainnya yaitu
bertemunya dua alat vital (laki-laki dan perempuan tanpa adanya hubungan
pernikahan.
D.
Syarat Dilaksanakannya Hukuman Zina
Sedangkan untuk
sampai kepada eksekusi atas pelaku perzinahan, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, antara lain :
a.
Pelakunya adalah seorang yang sudah cukup usia (baligh).
b.
Pelakunya adalah seorang yang sudah waras akalnya (aqil). Seorang
gila bila berzina dengan orang waras, maka yang dihukum hudud hanyalah yang
waras saja, sedangkan yang gila tidak dihukum hudud.
c.
Pelakunya adalah seorang muslim dan muslimah. Pendapat Al-Malikiyah
bahwa bila seorang kafir laki-laki berzina dengan seorang wanita kafir maka
tidak dihukum hudud tetapi dihukum ta`zir sesuai dengan pandangan hakim sebagai
pelajaran bagi keduanya. Sedangkan bila laki-laki kafir berzina dengan wanita
muslimah, maka yang laki-laki dihukum ta`zir sedang yang muslimah dihukum
hudud. Namun jumhur ulama mengatakan
bahwa seorang kafir yang berzina dihukum hudud.
d.
Perbuatan itu dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa. Jumhur ulama
sepakat bahwa seorang yang berzina karena terpaksa, maka tidak dapat dijatuhi
hukuman hudud. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan harus dihukum hudud. Namun
Sehingga yang dizinai secara paksa atau diperkosa tidak dihukum.
e.
Perbuatan itu dilakukan dengan seorang manusia bukan dengan hewan.
Bila dilakukan dengan hewan, maka pelakuknya dihukum dengan ta`zir bukan dengan
hudud. Sedangkan hukum hewan yang disetubuhi itu tetap halal dan dagingnya
boleh dimakan. Namun Al-Hanabilah menyatakan bahwa bila perbuatan itu
disaksikan oleh minimal 2 orang, maka hewan itu dibunuh, pelakunya diwajibkan
membayar harga hewan itu tapi dagingnya tidak halal dimakan.
f.
Pasangan itu baik laki-laki atau wanita adalah mereka yang sudah masuk
kategori bisa melakukan hubungan seksual. Bila laki-laki bersetubuh dengan
wanita di bawah umur, tidak dihukum hudud. Begitu juga bila seorang wanita
dewasa bersetubuh dengan anak kecil yang belum baligh.
g.
Perbuatan itu tidak mengandung syubhat. Seperti bila seorang
menyangka wanita yang disetubuhinya adalah istrinya tapi ternyata bukan. Ini
adalah pendapat jumhur ulama. Dan karena syubhatnya itu, maka Imam Abu Hanifah
dan Abu Yusuf mengatakan tetap harus dihukum hudud.
h.
Pelakunya adlaah orang yang mengerti dan tahu bahwa ancaman hukuman
zina adalah hudud yaitu rajam atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama
setahun. Sehingga bila pelakunya mengaku bahwa dia tidak tahu ancaman hukuman
zina, maka para ulama berbeda pendapat.
i.
Wanita yang dizinai bukanlah seorang kafir harbi.
j.
Wanita yang dizinai adalah seorang wanita yang masih hidup atau
bernyawa. Sedangkan menyetubuhi mayat memiliki hukum tersendiri.
E.
Jenis Zina dan Hukumannya
Para ulama
membagi pelaku zina menjadi dua macam, yaitu :
Pelaku zina yang
belum pernah menikah sebelumnya secara
syar`i. Pelakunya disebut ghairu muhshan. Pelaku zina yang sudah
pernah menikah sebelumnya secara syar`i.
Pelakunya disebut muhshan.
Hukuman buat
pezina terbagi dua macam sesuai dengan pelakunya, apakah muhshan atau ghairu
muhshan.
1.
Hukuman zina ghairu muhshan
Hukuman zina
ghairu muhshan adalah jalad atau cambuk dan diasingkan selama setahun.
Dalilnya adalah
firman Allah SWT :
puÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä.
7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB
sps($ÏB
;ot$ù#y_
(
“Wanita dan laki-laki yang berzina maka cambuklah masing-masing
mereka seratus kali."
Selebihnya
yaitu tentang mengasingkan mereka selama setahun, para ulama sedikit berbeda
pandangan :
ú Al-Hanafiyah
berpendapat bahwa seorang muhshan cukup dicambuk 100 kali saja tanpa harus
diasingkan selama setahun. Dalil yang mereka gunakan adalah zahir ayat yang
secara terang hanya menyebutkan hanya cambuk saja tanpa menyebutkan
pengasingan. Dan bila ditambah dengan cambuk, maka menjadi penambahan atas nash
dan penambahan itu menjadi nasakh. Jadi masalah mengasingkan bagi Al-Hanafiyah
bukan termasuk hudud, tetapi dikembalikan kepada hakim sebagai bentuk hukuman
ta`zir. Bila hakim memandang ada mashlahatnya maka bisa dilakukan dan bila
tidak maka tidak perlu dilakukan.
ú Asy-Syafi`iyah
dan Al-Hanabilah berpandangan bahwa mengasingkan pezina selama setahun adalah
bagian dari hudud dan harus digabungkan dengan pencambukan. Pengasingan itu
sendiri ditentukan bahwa jaraknya minimal jarak yang membolehkan seseorang
mengqashar shalatnya. Dalil yang mereka gunakan untuk mengasingkan ini adalah
sabda Rasulullah SAW :
“Ambillah dariku (ajaran agamamu)
yang Allah telah jadikannya sebagai jalan. Perawan dan bujangan yang berzina
maka hukumannya adalah cambuk dan diasingkan setahun. Dan orang yang sudah
menikah yang berzina maka hukumannya adalah cambuk 100 kali dan rajam”.[4]
Namun mereka
mengatakan bahwa pengasingan ini hanya berlaku bagi lak-laki saja, sedangkan
wanita yang berzina tidak perlu diasingkan kecuali ada mahram yang menemaninya
seperti suami atau mahram dari keluarganya. Karena Rasulullah SAW melarang
bepergiannya seorang wanita,”Wanita tidak boleh bepergian lebih dari 3 hari
kecuali bersama suami atau mahramnya”. [5]
Al-Malikiyah
berkata bahwa laki-laki diasingkan ke negeri yang asing baginya selama setahun,
sedangkan wanita tidak diasingkan karena takut terjadinya zina untuk kedua
kalinya sebab pengasingan itu.
2.
Hukuman Zina Muhshan
Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum
dengan hukuman rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW secara umum yaitu,“Tidak
halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal : orang yang
berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah”.[6]
Zina muhshan adalah puncak perbuatan keji sehingga akal manusia pun
bisa menilai kebusukan perbuatan ini, karena itu hukumannya adalah hukuman yang
maksimal yaitu hukuman mati dengan rajam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa zina merupakan perbuatan yang fahisyah (keji) dan
termasuk akhlak yang tercela. Konsekuensi yang didapat oleh pelaku zina adalah
dijilid atau dicambuk sebanyak 100 kali cambukan hukum ini dijatuhkan kepada pezina
ghairu muhshan. Pelaku zina muhshan dihukum dengan rajam yaitu dilempari batu
sampai mati, karena zina muhshan ini merupakan puncak dari perbuatan keji.
B.
Saran
Dengan selesainya makalah ini, maka
penulis berharap adanya respon positif dari semua pihak terutama dari dosen
pengampu mata kuliah ini terhadap makalah ini.
Penulis sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kategori sempurna, maka dari itu kritik atau masukan yang
bersifat membangun atas kesempurnaan makalah ini sangat diharapkan.
Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi semua terutama bagi
kami dan teman-teman serta pihak-pihak yang terlibat di dalam penyelesaian
makalah ini. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwat,
Ahmad. “Kajian Tafsir Ayat Ahkam”. Cet ke-2 DU Center
Abi Hasan Ali bin Ahmad al- Wahidi
al- Naisaburi, “Asbabun Nuzul” Dar al- Kutub al- Islamiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar