Kamis, 27 Maret 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang tegas dalam menerapkan hukum-hukumnya, konsep keadilan dalam Islam sangat ditekankan. Bahkan dari hal yang dibilang sepele sampai pada hal yang rumit, Islam selalu aktif mengawasinya.
Islam menganjurkan kepada kita untuk selalu menjaga kehormatan kita, serta memberikan batasan-batasan pergaulan antar sesame, sehingga kita bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Makalah ini akan membahas tentang seluk beluk zina dari segi hukumnya yang dikaitkan dengan penafsiran ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum zina tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah semua hal yang berkaitan dengan zina yaitu dari definisi, macam dan hukumannya.
C.    Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam yang dibimbing oleh Bapak H. Muhammad Basyri Asy’ari, MA.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Nash Ayat
1.      Q.S An- Nuur Ayat 2
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ
 «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ  
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”
2.      Q.S Al-Isra’ Ayat 32
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ  
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”
3.      Penjelasan Kosa Kata
-          Q.S An- Nuur ayat 2
èÎT#¨9$#ur puÏR#¨9$# = makna harfiyahnya adalah “wanita dan laki-laki yang berzina”. Sedangkan makna istilahnya adalah wanita dan laki-laki yang mealkukan hubungan seks tanpa adanya ikatan pernikahan.
#rà$Î#ô_$$sù         = kata dasarnya adalah جلد yang berarti memukul/mendera/mencambuk. Kata ini berbentuk “amar” atau perintah untuk mendera wanita dan laki-laki yang berzina.
psùù&u               = yang berari belas kasihan, serumpun dengan kata رئوف الرحيم  yang merupakan salah satu dari sifat Allah (belas kasihan). Kata psùù&u pada ayat di atas dikaitkan dengan kata                $yJÍkÍ5 /ä.õè{ù's?Ÿwur, jadi jelas maksud dari ayat ini bahwa kita tidak boleh memiliki rasa belas kasihan terhadap orang yang berzina dalam hal mengadili atau menghukumnya.
ô ×pxÿͬ!$sÛ$yJåku5#xtãpkôuŠø9ur = maksudnya adalah hukuman atas orang yang berzina itu harus dilaksanakan di muka umum.
-          Q.S Al- Isra’ Ayat 32
Ÿ   #oTÌh9 (#qç/tø)s?wur = artinya adalah “janganlah kamu mendekati zina”, kalimat ini secara tegas melarang kita untuk mendekati zina. Logikanya, kalau mendekati saja dilarang, apalagi kalau sampai melakukannya.
pt±Ås»sù           = سيئة  namun memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Kata pt±Ås»sù hanya dikhusukan pada zina saja, sedangkan perbuatan yang tidak terpuji lainnya seperti mencuri dan lainnya menggunakan kata سيئة. Hal ini menunjukkan bahwa zina merupakan perbuatan yang paling jelek di antara perbuatan jelek lainnya.
u xÎ6yä!$yur  = artinya suatu jalan yang buruk.
B.     Asbabun Nuzul
Surat An-Nuur Ayat 2 : An-Nasai menyatakan bahwa Abdillah bin Amr berkata.”Ada seorang wanita bernama Ummu Mahzul (atau Ummu Mahdun) yang musafih. Dan seorang laki-laki shahabat Rasulullah SAW ingin menikahinya. Lalu turunlah ayat “Seorang wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki mukminin”.
Abu Daud, An-Nasai, At-Tirmizy dan Al-Hakim meriwayatkan dari hadits Amru bin Syu`aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa ada seorang bernama Mirtsad datang ke Mekkah dan memiliki seorang teman wanita di Mekkah bernama `Anaq. Lalu dia meminta izin pada Rasulullah SAW untuk menikahinya namun beliau tidak menjawabnya hingga turun ayat ini. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya,”Ya Mirtsad, seorang wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki mukminin”.
Para Mufassirin mengatakan bahwa ayat ini selain untuk Mirtsad bin Abi Mirtsad, juga untuk pra shahabat yang fakir yang minta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi para wanita pelacur dari kalangan ahli kitab dan para budak wanita di Madinah, maka turunlah ayat ini.[1]
Surat Al- Isra’ Ayat 32 : tidak terdapat asbabun nuzul pada ayat ini.

C.    Pengertian Zina
Menurut bahasa zina adalah الوطئ المحرم  (peresetubuhan yang diharamkan) sedangkan menurut istilah Para ulama fiqih memberi batasan bahwa zina yang dimaksud adalah masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita tanpa nikah atau syibhu nikah (mirip/setengah nikah).
Bahkan ulama Al-Hanafiyah memberikan definisi yang jauh lebih rinci lagi yaitu : hubungan seksual yang haram yang dilakukan oleh mukallaf (aqil baligh) pada kemaluan wanita yang hidup dan musytahah dalam kondisi tanpa paksaan dan dilakukan di wilayah hukum Islam (darul Islam) di luar hubungan kepemilikan (budak) atau nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah.[2]
Al- Qurthubi dalam Maktabah Syamilah mengatakan bahwa istilah zina sudah dikenal sejak sebelum syari’at ditetapkan seperti halnya mencuri dan membunuh. Ia mendefinisikan zina sebagai berikut :
هواسم لوطئ الرجل امرأة في فرجها بغير نكاح او شبهة نكاح.
“ialah wathi’nya laki-laki kepada wanita di dalam kemaluannya tanpa adanya hubungan nikah atau yang menyerupai nikah”[3]
Secara subtansial definisi yang dikemukakan oleh Al- Qurthubi ini sama dengan penjelasan para fuqaha lainnya yaitu bertemunya dua alat vital (laki-laki dan perempuan tanpa adanya hubungan pernikahan.
D.    Syarat Dilaksanakannya Hukuman Zina
Sedangkan untuk sampai kepada eksekusi atas pelaku perzinahan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain :
a.       Pelakunya adalah seorang yang sudah cukup usia (baligh).
b.      Pelakunya adalah seorang yang sudah waras akalnya (aqil). Seorang gila bila berzina dengan orang waras, maka yang dihukum hudud hanyalah yang waras saja, sedangkan yang gila tidak dihukum hudud.
c.       Pelakunya adalah seorang muslim dan muslimah. Pendapat Al-Malikiyah bahwa bila seorang kafir laki-laki berzina dengan seorang wanita kafir maka tidak dihukum hudud tetapi dihukum ta`zir sesuai dengan pandangan hakim sebagai pelajaran bagi keduanya. Sedangkan bila laki-laki kafir berzina dengan wanita muslimah, maka yang laki-laki dihukum ta`zir sedang yang muslimah dihukum hudud.  Namun jumhur ulama mengatakan bahwa seorang kafir yang berzina dihukum hudud.
d.      Perbuatan itu dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa. Jumhur ulama sepakat bahwa seorang yang berzina karena terpaksa, maka tidak dapat dijatuhi hukuman hudud. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan harus dihukum hudud. Namun Sehingga yang dizinai secara paksa atau diperkosa tidak dihukum.
e.       Perbuatan itu dilakukan dengan seorang manusia bukan dengan hewan. Bila dilakukan dengan hewan, maka pelakuknya dihukum dengan ta`zir bukan dengan hudud. Sedangkan hukum hewan yang disetubuhi itu tetap halal dan dagingnya boleh dimakan. Namun Al-Hanabilah menyatakan bahwa bila perbuatan itu disaksikan oleh minimal 2 orang, maka hewan itu dibunuh, pelakunya diwajibkan membayar harga hewan itu tapi dagingnya tidak halal dimakan.
f.       Pasangan itu baik laki-laki atau wanita adalah mereka yang sudah masuk kategori bisa melakukan hubungan seksual. Bila laki-laki bersetubuh dengan wanita di bawah umur, tidak dihukum hudud. Begitu juga bila seorang wanita dewasa bersetubuh dengan anak kecil yang belum baligh.
g.      Perbuatan itu tidak mengandung syubhat. Seperti bila seorang menyangka wanita yang disetubuhinya adalah istrinya tapi ternyata bukan. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dan karena syubhatnya itu, maka Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf mengatakan tetap harus dihukum hudud. 
h.      Pelakunya adlaah orang yang mengerti dan tahu bahwa ancaman hukuman zina adalah hudud yaitu rajam atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Sehingga bila pelakunya mengaku bahwa dia tidak tahu ancaman hukuman zina, maka para ulama berbeda pendapat.
i.        Wanita yang dizinai bukanlah seorang kafir harbi.
j.        Wanita yang dizinai adalah seorang wanita yang masih hidup atau bernyawa. Sedangkan menyetubuhi mayat memiliki hukum tersendiri.

E.     Jenis Zina dan Hukumannya
Para ulama membagi pelaku zina menjadi dua macam, yaitu :
Pelaku zina yang belum pernah  menikah sebelumnya secara syar`i. Pelakunya disebut ghairu muhshan. Pelaku zina yang sudah pernah  menikah sebelumnya secara syar`i. Pelakunya disebut muhshan.
Hukuman buat pezina terbagi dua macam sesuai dengan pelakunya, apakah muhshan atau ghairu muhshan.
1.      Hukuman zina ghairu muhshan
Hukuman zina ghairu muhshan adalah jalad atau cambuk  dan diasingkan selama setahun.
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
puÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (
“Wanita dan laki-laki yang berzina maka cambuklah masing-masing mereka seratus kali."
Selebihnya yaitu tentang mengasingkan mereka selama setahun, para ulama sedikit berbeda pandangan :
ú  Al-Hanafiyah berpendapat bahwa seorang muhshan cukup dicambuk 100 kali saja tanpa harus diasingkan selama setahun. Dalil yang mereka gunakan adalah zahir ayat yang secara terang hanya menyebutkan hanya cambuk saja tanpa menyebutkan pengasingan. Dan bila ditambah dengan cambuk, maka menjadi penambahan atas nash dan penambahan itu menjadi nasakh. Jadi masalah mengasingkan bagi Al-Hanafiyah bukan termasuk hudud, tetapi dikembalikan kepada hakim sebagai bentuk hukuman ta`zir. Bila hakim memandang ada mashlahatnya maka bisa dilakukan dan bila tidak maka tidak perlu dilakukan.
ú  Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah berpandangan bahwa mengasingkan pezina selama setahun adalah bagian dari hudud dan harus digabungkan dengan pencambukan. Pengasingan itu sendiri ditentukan bahwa jaraknya minimal jarak yang membolehkan seseorang mengqashar shalatnya. Dalil yang mereka gunakan untuk mengasingkan ini adalah sabda Rasulullah SAW :
“Ambillah dariku (ajaran agamamu) yang Allah telah jadikannya sebagai jalan. Perawan dan bujangan yang berzina maka hukumannya adalah cambuk dan diasingkan setahun. Dan orang yang sudah menikah yang berzina maka hukumannya adalah cambuk 100 kali dan rajam”.[4] 
Namun mereka mengatakan bahwa pengasingan ini hanya berlaku bagi lak-laki saja, sedangkan wanita yang berzina tidak perlu diasingkan kecuali ada mahram yang menemaninya seperti suami atau mahram dari keluarganya. Karena Rasulullah SAW melarang bepergiannya seorang wanita,”Wanita tidak boleh bepergian lebih dari 3 hari kecuali bersama suami atau mahramnya”. [5]
Al-Malikiyah berkata bahwa laki-laki diasingkan ke negeri yang asing baginya selama setahun, sedangkan wanita tidak diasingkan karena takut terjadinya zina untuk kedua kalinya sebab pengasingan itu.
2.      Hukuman Zina Muhshan
Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum dengan hukuman rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW secara umum yaitu,“Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal : orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah”.[6]
Zina muhshan adalah puncak perbuatan keji sehingga akal manusia pun bisa menilai kebusukan perbuatan ini, karena itu hukumannya adalah hukuman yang maksimal yaitu hukuman mati dengan rajam.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa zina merupakan perbuatan yang fahisyah (keji) dan termasuk akhlak yang tercela. Konsekuensi yang didapat oleh pelaku zina adalah dijilid atau dicambuk sebanyak 100 kali cambukan hukum ini dijatuhkan kepada pezina ghairu muhshan. Pelaku zina muhshan dihukum dengan rajam yaitu dilempari batu sampai mati, karena zina muhshan ini merupakan puncak dari perbuatan keji.
B.     Saran
Dengan selesainya makalah ini, maka penulis berharap adanya respon positif dari semua pihak terutama dari dosen pengampu mata kuliah ini terhadap makalah ini.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, maka dari itu kritik atau masukan yang bersifat membangun atas kesempurnaan makalah ini sangat diharapkan.
Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi semua terutama bagi kami dan teman-teman serta pihak-pihak yang terlibat di dalam penyelesaian makalah ini. Amiin.



DAFTAR PUSTAKA
Sarwat, Ahmad. “Kajian Tafsir Ayat Ahkam”. Cet ke-2 DU Center
Abi Hasan Ali bin Ahmad al- Wahidi al- Naisaburi, “Asbabun Nuzul” Dar al- Kutub al- Islamiyah





[1] Sarwat, Ahmad. Kajian Tafsir Ayat Ahkam. Hal 75-76
[2] Ibid hlm 77
[3] Maktabah Syamilah Kitab tentang Tafsir Ayat Ahkam.
[4] HR. Ahmad dan para penulis kutubussittah kec. Bukhari dan An-Nasai
[5] HR. Bukhari dan Muslim

Tidak ada komentar: